MamaOla

Thursday, September 2, 2010

MAN, WOMAN, ARE YOU MAXIMISED ENOUGH?

MAN, WOMAN, ARE YOU MAXIMISED ENOUGH?

“Kenapa yach, para cewek sering sekali mengatakan kita adalah cowok-cowok yang pasif?” tanya Edward (25) pada sahabatnya Anton (26). Aku sempat menguping, cewek-cewek di gereja kemarin bergosip-ria dan mengatakan kita ini pasif di segala bidang. Menurut mereka, kita tidak mau berinisiatif untuk memimpin di keluarga, gereja, masyarakat, apalagi dunia.

Aku sempat kesal waktu mendengarnya, tapi kalau dipikir-pikir mungkin ada benarnya juga. Di persekutuan misalnya. Jumlah cewek biasanya lebih banyak dari jumlah cowok. Akibatnya, tim inti didominasi oleh cewek. Yang menyedihkan, trend ini diterima dengan tangan terbuka oleh para cowok. Aku ingat, ketika ada acara mission trip ke Lampung, Susan sudah merayu-rayu para cowok untuk memimpin acara tersebut, tapi tidak ada cowok yang mau. Akhirnya para cewek terpaksa menangani seluruh acara dari A-Z.

Tidak cuma urusan persekutuan. Biasanya, para cowok yang jarang masuk dalam organisasi di gereja, mengkeret juga ketika harus memimpin di organisasi-organisasi sekuler. Masalah-masalah dunia seperti globalisasi, politik Indonesia, pemilu atau korupsi, tidak terlalu menarik hati lagi karena kita sibuk membicarakan modifikasi apa yang diperlukan supaya Lexus IS300 bisa mencapai 85 km/jam dalam waktu 6.1 detik. Yang aku khawatirkan, lambat laun akan terjadi pertukaran peran pria dan wanita di semua ruang, tapi terutama dalam kepemimpinan spiritual.” kata Edward serius.

***

Johan Sulaiman, kontributor getLIFE! di California menuliskan cerita rekaan di atas untuk menunjukkan fenomena yang kini umum terjadi tengah masyarakat golongan menengah atas Indonesia di Amerika Serikat.

Situasi ini dinyatakan pula oleh seorang misionaris Inggris yang pekerjaan utamanya adalah melayani para mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri. Menurut misionaris yang tidak mau disebutkan namanya ini, observasinya menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin persekutuan-persekutuan mahasiswa Indonesia di Amerika yang ia temui adalah wanita.

“Saya rasa ini disebabkan oleh latar belakang keluarga. Para mahasiswa yang ada di sana kebanyakan berasal dari keluarga golongan menengah atas, yang sejak kecil sudah terbiasa untuk pasif dalam segala hal. Di rumah, selalu ada pembantu yang melayani segala kepentingannya. Orang-tua golongan ini juga biasanya sangat asertif sehingga seringkali tanpa disadari membuat berbagai keputusan untuk sang anak. Akibatnya anak-anak, terutama yang laki-laki, tidak terbiasa dalam proses pengambilan keputusan sendiri dan takut untuk mengambil resiko.

Saya perhatikan juga, di banyak keluarga golongan ini, terutama masyarakat Tionghoa Indonesia yang sangat mementikan pencapaian di bidang ekonomi, ayah biasanya tidak terlalu memperdulikan urusan mengasuh anak. Semuanya dianggap cuma urusan ibu. Dalam jangka panjang, ini berpengaruh pada perkembangan anak, terutama anak laki-laki.” kata misionaris ini.

Jika observasi ini benar, bukankah anak perempuan pun harusnya terpengaruh oleh latar belakang keluarga yang seperti ini?

Ternyata, menurut suatu teori penelitian yang dikutip oleh Bill dan Pam Farrel dalam buku “Pria Seperti Wafer dan Wanita Seperti Bakmi”, anak perempuan cenderung untuk merasa harus bekerja keras lebih dari anak laki-laki terutama sejak mereka duduk di SMA. “Di SMA, anak perempuan menghabiskan waktu lebih lama untuk belajar dan lebih sedikit untuk menonton TV. Hal ini sepertinya disebabkan karena perempuan cenderung menganggap apa yang mereka capai adalah berkat usaha mereka, sementara laki-laki menganggap keberhasilan mereka adalah berkat kemampuan mereka.”

Dan trend ini tidak cuma terjadi di lingkup dunia religius seperti di gereja atau di persekutuan. Walaupun jika dilihat secara keseluruhan pria masih tetap mendominasi dunia, tapi dalam hitungan waktu yang singkat, jumlah wanita yang ‘naik ke pentas’ telah terjadi dalam jumlah yang cukup signifikan, terutama di negara-negara maju. Salah satu efeknya adalah meningkatnya jumlah wanita karier yang melajang.

SARI SITUASI TERKINI
Di Taiwan, wanita karier seperti ini disebut danshen guizu yang berarti lajang yang terhormat. Mereka profesional dalam karier dan berpenghasilan sangat tinggi . Fokus utama mereka adalah karier, karier dan karier.

Di Singapura, dalam sebuah survey yang diselenggarakan oleh Unit Pengembangan Sosial pada tahun 2000, diketahui bahwa wanita yang berusia antara 21- 35 hanya menempatkan pernikahan di urutan ke 4 dalam hirarki kebutuhan hidup mereka setelah kemapanan ekonomi, karier, hidup sukses dan travelling. Dari 1.800 wanita yang diwawancarai, 77 persen-nya mengakui sebagai wanita pekerja yang jam kerjanya di atas jam kerja normal.

“Wanita-wanita seperti ini bisa cepat maju karena kerajinan, stamina, dan enerji mereka yang tinggi. Mereka bahkan bersedia untuk bekerja di kantor 14 sampai 16 jam seharinya, dan umumnya mereka hidup melajang. Ini merupakan suatu gambaran wanita generasi baru di Singapura dan negara-negara berkembang lainnya. Mereka siap menggulung kaum pria karena prestasi pekerjaan mereka.” tutur Richard Lim, kolumnis dari surat kabar terbesar di Singapura, the Straits Times.

Sementara itu di Amerika, memasuki awal abad 21 ini, para wanita telah menempati 36 persen dari pekerjaan profesional dan manajerial. Padahal 33 tahun yang lalu, jumlahnya hanya 20 persen saja. Pada tahun 1970, komposisi wanita profesional yang memiliki otoritas dan kuasa naik dari 9,2% pada tahun 1970 menjadi 25% pada tahun 1999.

Mungkin ini ada hubungannya dengan penurunan motivasi kerja dan kurangnya rasa tanggung-jawab di kalangan pria, terutama bagi pria yang tidak piawai dalam bekerja, lapor ABC News. Menurut para ahli demografi dan perburuhan di negeri Paman Sam ini, persentase wanita yang lulus perguruan tinggi adalah 57%. Uniknya, tidak ada satu pun dari 51 negara bagian Amerika yang memiliki pria dengan persentase kelulusan dari perguruan tinggi yang lebih tinggi dari wanitanya. Wanita yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi pun jumlahnya lebih tinggi, yaitu sekitar 70%, sedangkan pria cuma 64%.

‘Ini merupakan masalah ekonomi dan budaya yang serius,’ keluh Andrew Sum ahli Ekonomi dari Pusat Penelitian Lapangan Kerja Bagi Buruh di Northeastern University. “Pria jaman sekarang kurang matang dibandingkan dengan pria 20 tahun yang lalu. Dan ini berdampak pada kehidupan pernikahan di Amerika. Para wanita pun banyak yang akhirnya memilih untuk melajang.” kata Andrew Sum.

Robert B Reich, sekretaris buruh semasa Clinton berkuasa yang sekarang ini menjadi professor ekonomi di Brandeis University mengatakan dalam bukunya “The Future of Success”, ada dua alasan mengapa terjadi perubahan komposisi antara wanita dan pria dalam dunia kerja – yang akhirnya berpengaruh juga pada keluarga konvensional:
1. Wanita harus bekerja karena penghasilan suaminya berkurang akibat perubahan sistem dari industri yang berskala besar ke arah industri yang menekankan pelayanan pribadi dan ide-ide inovatif.
2. Bursa kerja bagi wanita makin terbuka dan tingkat pendapatan wanita berpendidikan pun makin meningkat.
Tren ini memunculkan juga angkatan yang disebut DINS (Double Income No Sex) karena mereka terlalu lelah dalam pekerjaan mereka masing-masing, walaupun hidup mereka secara materi mungkin sudah sangat berkecukupan. Setidaknya menurut suatu laporan di Amerika Serikat, jumlah keluarga yang memiliki anak pada tahun 1988 cuma sekitar 26%, menurun drastis dari angka 45% di tahun 1972.

Kolumnis Richard Lim juga berkomentar, banyak pria masa kini yang tidak menyadari identitas dirinya. “Mereka sibuk menempatkan kepriaannya lewat menonton sepak bola, tinju atau pornografi. Semuanya ini memang bisnis global yang besar, tapi justru itulah yang membuat mereka semakin pasif.”

BUKAN GAMBARAN LENGKAP
Sebetulnya, gambaran di atas tidak mewakili gambaran dari dunia secara keseluruhan. Karena menurut laporan teranyar yang dikeluarkan ILO (organisasi buruh sedunia) tanggal 8 Maret 2004 lalu, saat ini memang ada peningkatan jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja dalam 10 tahun terakhir (total peningkatan sekitar 200 juta wanita). Walaupun begitu, mayoritas tetap menerima gaji yang lebih rendah dari pria dan mewakili 60% dari 550 juta pekerja miskin di dunia. Selain itu, pertumbuhan yang luar biasa dari jumlah pekerja wanita ini, tidak diikuti oleh pemberdaayaan sosial ekonomi yang sama bagi wanita. Dengan kata lain, masih terjadi ketidak-seimbangan antara pria dan wanita dalam dunia kerja.

Setidaknya saat ini, masih terdapat sekitar 35,8 juta wanita muda yang menganggur akibat sulitnya mendapat pekerjaan. Tingginya tingkat pengangguran ini menyebabkan banyak wanita terpaksa bekerja di bidang-bidang yang sebetulnya berbahaya bagi mereka. Karena itu Direktur Jenderal ILO, Juan Somavia sempat berkomentar bahwa wanita harus diberi lebih banyak kesempatan untuk dapat mencapai posisi puncak.

Kenyataan ini pulalah yang menyebabkan menyebabkan banyak kuota beasiswa untuk ke luar negeri masih diberikan pada wanita.” kata Evelyn Suleeman, seorang sosiolog di Jakarta.

Karena itu Evelyn melihat, yang jadi masalah utama di sini bukannya wanita yang mengalami kemajuan, tapi justru pria yang mengalami kemunduran. Harusnya ketika wanita maju, pria pun ikut maju dan tidak malah jadi pasif.

Bagaimana Gereja Melihat Situasi Ini?
Ketika kita bicara tentang ‘gereja’, ada banyak sekali gereja di dunia ini dengan interpretasi yang kadang berbeda-beda terhadap kebenaran Firman Tuhan. Walaupun begitu, sebagian besar gereja percaya bahwa Tuhan sudah menciptakah pria sebagai pemimpin, terutama di lingkungan keluarga.

Beberapa pemimpin gereja di Indonesia seperti Pdt. Eddy Leo (Abba Love Ministry) atau Pdt. Henry Efferin (GKI Anugerah Bandung) terkenal dengan usaha-usaha mereka untuk menyadarkan para pria tentang peran unik mereka lewat gerakan-gerekan‘pria Sejati’ (Maximise Manhood).

“Dalam keluarga, Allah menciptakan pria untuk menjadi pemimpin. Tidak maksimalnya hal ini menyebabkan banyaknya kehancuran dalam keluarga dan masyarakat.” kata Lily Efferin, istri Pdt. Henry Efferin yang bersama-sama dengan suaminya gencar mendorong pelaksanaan gerakan ini di berbagai tempat.

“Setidaknya, suatu survey yang sering kami pakai menunjukkan, jika ayah dan ibu sama-sama pergi ke gereja, maka kemungkinan anak untuk juga pergi ke gereja mencapai 75%. Jika ayah saja yang pergi ke gereja dan ibu tidak, kemungkinan anak ke gereja masiih mencapai 50%. Tapi jika ibu saja yang ke gereja dan ayah tidak ikut, maka kemungkinan anak ke gereja hanya sekitar 15%.” kata Lily Efferin.

Ini cuma satu hal. Penelitian lain oleh Joyce Brother dalam bukunya ‘Is he a Good Dad’ melaporkan hasi riset dari aneka sumber yang menunjukkan pentingnya ayah sebagai bapa bagi keluarganya. Menurut laporan ini, anak-anak yang diasuh oleh ayah dan ibu memiliki 40% kemungkinan yang lebih tinggi untuk berpikir secara lebih baik, empati yang lebih besar terhadap orang lain dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengambil berbagai keputusan.

“Menjadi ayah itu beda lho dengan menjadi bapa. Menjadi ayah cuma suatu tindakan biologis, tapi menjadi bapa meliputi tindakan dan tanggung-jawab rohani.” lanjut Lily Efferin yang kemudian mengutip hasil riset Phyllis Bronstein, seorang profesor di Fakultas Psikologi klinis Universitas Vermont: riset menunjukkan, ayah memiliki kemungkinan yang lebih besar ketimbang ibu untuk mengajarkan kemahiran fisik, petualangan, keterampilan baru dan rasa percaya diri dalam menyatakan pendapat.

“Sebagai ibu, kadang saya jealous melihat otoritas demikian besar yang sudah Tuhan berikan pada pria. Tapi saya sungguh melihat dan mengalami, bahwa dampak otoritas ayah dalam mendidik itu beda dengan ibu. Anak perempuan masih bisa dibesarkan tanpa ayah, tapi jika anak laki-laki dibesarkan tanpa ayah, ia akan tumbuh sebagai pribadi yang labil dan tidak berkembang secara maksimal. Anak perempuan yang dibesarkan bersama oleh ayah dan ibu juga biasanya akan lebih matang dan dapat membangun relasi yang lebih baik dengan orang lain.” tegas Lily Efferin.

BAGAIMANA DENGAN KEPEMIMPINAN WANITA DI LINGKUP PUBLIK?
“Di gereja, saya melihat wanita yang menjadi pemimpin itu baik sekali. Tetapi tetap saja akan memunculkan berbagai keterbatasan, terutama dalam pengembangan kapasitas pelayanan dan sumber daya manusia. Dampaknya akan jauh lebih besar jika wanita ini bisa berjalan bersama-sama dengan pria yang juga terlibat sebagai pemimpin. Dan untuk bisa seperti ini, wanita harus memaksimal kewanitaannya. Mereka harus berpikir bagaimana caranya memotivasi pria supaya jadi lebih maksimal.

Seorang wanita pemimpin yang memahami hal ini, akan menggunakan semua talentanya agar bisa mengembangkan kemampuan rekan-rekan kerjanya, dan bukan menyebabkan mereka - terutama yang pria, jadi kehilangan rasa amannya. Jadi wanita semacam ini harus bisa menerapkan servant leadership, kepemimpinan yang melayani. Cuma konsep ini memang sulit dipahami diluar kekristenan.” kata Lily lebih lanjut. ** (GE, YP, SL, JH)


Lima Hal Utama Yang Perlu Dimaksimalkan Pria

Pdt. Henry Efferin dan istrinya mempromosikan 5 hal utama yang perlu dimaksimalkan oleh pria plus dua alternatif gaya hidup pria sejati:

1. berani memberi diri sebagai teladan yang sehat dan benar.
Sehat artinya bukan berarti harus macho secara fisik, tapi menunjukkan keseimbangan kepribadian yang baik, karena dia adalah pemimpin. Anak tidak mentaati apa yang dikatakan orang dewasa, khususnya pria, tapi meneladani apa yang dilakukan orang dewasa. Jika anak merokok, ayahnya biasanya merokok juga. Jika ayah berubah, Tuhan akan memulihkan seluruh keluarga.

2. berani bertanggung-jawab dalam memberikan bimbingan dan panduan.
Jika kebetulan ia seorang pria pendiam, tidak berarti ia harus berubah dan menjadi cerewet. Diam bukan berarti masa bodoh. Sebaliknya, ia bisa hadir secara proaktif lewat tindakan yang menunjukkan ia siap terlibat. Menurut Bill Gothard dari “Institute of Basic Life Principle”, pria adalah pemimpin, pelindung dan pemelihara.

3. Memakai otoritas yang diberikan Tuhan untuk melakukan pengarahan dan koreksi yang seimbang dan bijaksana.

4. Mengembangkan skill dalam berhubungan antar manusia untuk membangun rasa aman istri, anak, maupun orang lain. Ini berarti secara emosi ia bersedia didekati dan diajak bicara sehingga orang lain merasa aman berada dekat dengannya.

5. Menyediakan diri untuk menjadi teman berpikir yang objektif dan jernih. Wanita diberi faktor emosi yang kuat, sedangkan pria diberi kemampuan untuk berpikir secara lebih objektif dan jernih. Karena itu, pria dapat menjadi seorang teman berpikir yang baik, terutama untuk istri dan anak-anaknya.


DUA Gaya Hidup Pria Sejati

1. Mengenal Tuhan secara pribadi. Jika seorang pria tidak memiliki model asli untuk diikuti, tidak mungkin ia bisa menampilkan diri sebagai model yang baik bagi orang lain.

2. Bersedia berinteraksi dalam suatu komunitas orang percaya. Yang penting bukan aktifitas agamawinya, tapi interaksinya dengan pria-pria lain, yang akan memaksimalkan potensi dirinya, sekaligus menjaganya untuk tetap terkontrol.

============================================================

Wanita Ideal, Seperti Apa?

Oleh: Jessica Santoso

“Seorang wanita yang setia, cakap, baik hati, murah hati, suka bekerja keras, takut akan Tuhan dan memiliki kecantikan yang abadi…”

Ketika aku membacakan hal ini pada sohibku Jennifer, ia langsung tertawa sambil bertanya apakah aku sedang membaca iklan mencari jodoh di koran. Aku tersenyum simpul dan berkata “Tidak Jen, ini adalah gambaran tentang wanita ideal yang ditulis oleh seorang raja di Amsal 31.”

Pada awalnya Jen dan aku cukup terintimidasi ketika membaca pasal ini. Wanita di Amsal 31 ini tampaknya lebih merupakan fantasi daripada kenyataan. Seorang pendeta memberitahu bahwa kitab Amsal merupakan kumpulan nasihat bijaksana yang diberikan oleh para orang-tua Yahudi pada anak-anak mereka - dan pasal 31 merupakan instruksi yang diberikan seorang ibu kepada anak laki-lakinya, seorang pangeran muda yang pada suatu hari akan menjadi raja. Ibu ini tidak cuma mengajarkan bagaimana caranya menjadi raja yang takut akan Tuhan, tapi juga yang bijaksana, terutama ketika hendak mencari istri.

Setelah merenungkannya, aku berpikir bahwa jika ibu tersebut bisa menggambarkan wanita seperti itu pada anaknya, berarti wanita semacam ini merupakan sosok nyata yang betul-betul ada. Bukankah Amsal 19:14 juga mengatakan “istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan” dan Ruth 3:11 menggambarkan Ruth sebagai wanita yang bijaksana. Karena itu aku yakin bahwa aku dan para wanita lain yang hidup di jaman modern ini bisa ikut belajar bagaimana menjadi wanita seperti yang digambarkan dalam Amsal 31.

Oya, satu hal lagi yang membuatku suka dengan pasal ini adalah karena Amsal 31 tetap relevan bagi wanita lajang sepertiku, dan tidak cuma bagi para istri atau ibu rumah tangga. Soalnya, kualitas karakter yang dinyatakan dalam Amsal 31 adalah apa yang Tuhan ingin setiap wanita Kristen miliki dan bukan cuma buat mereka yang menikah saja. Berikut ini adalah pembahasan yang lebih detil dari karakter seorang wanita ideal supaya pembaca getLIFE! bisa lebih memahami Amsal 31.

1. Setia dan dapat dipercaya
Amsal 31:10 berkata, “Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata.” Alkitab membandingkan wanita semacam itu dengan permata karena memang wanita semacam ini jarang ada. Salah satu kualitas yang membuatnya sangat jarang dan berharga adalah karena ia dapat dipercaya (trustworthy). Ayat 11 mengatakan bahwa “Hati suaminya percaya kepadanya”, sehingga sang suami tidak perlu kuatir, takut, ataupun curiga terhadapnya.

Adanya kepercayaan ini menyebabkan sang suami dapat bekerja dengan lebih baik dan fokus. Ayat 23 memberitahu kita bahwa “Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.” Rupanya suami wanita ini dikenal sebagai seseorang yang berpengaruh dan dihormati dalam komunitasnya. Ia mampu untuk naik ke posisi yang tinggi akibat bantuan istrinya. Aku pernah mendengar suatu pribahasa yg mengatakan “dibalik setiap pria yang hebat, terdapat seorang wanita yang luar biasa.” Karakter seorang wanita memang dapat menolong seorang suami agar bisa berdampak pada masyarakat luas.
Aku bersyukur karena Tuhan memberkatiku dengan memberikan seorang ibu yang memiliki karakter ini. Selama aku hidup, aku selalu memperhatikan kesetiaan dan dukungannya pada ayahku. Ia tetap setia pada janji pernikahannya selama 36 tahun mereka menikah. Karena ayah dapat mempercayai ibu dengan sepenuh hatinya, ayah pun menjadi seorang suami dan ayah yang lebih baik.

Dalam hidupku sebagai lajang, aku melihat bahwa karakter ‘dapat dipercaya’ ini bisa diaplikasikan dalam dua bidang utama di hidupku, yaitu kata-kataku dan pekerjaanku. Dengan bantuanNya, aku berusaha untuk menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Ini berarti ketika aku berkata ‘ya’, itu harus benar-benar berarti ‘ya’ – dan ketika aku berkata ‘tidak’, itu harus benar-benar berarti ‘tidak’ (Matius 5:37).

2. Kebaikan hati
Karakter kedua yang disebut dalam Amsal 31 adalah ‘kebaikan hati’. Ayat 12 mengatakan “ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya.” Ini berarti, wanita ini tidak suka bergosip-ria atau menyebarkan rahasia-rahasia memalukan dari suaminya kepada teman-temannya, tetangganya, bahkan anak-anaknya. Ia mendorong suaminya untuk melaksanakan berbagai aspirasi serta mimpinya – dan ia memuji suaminya dengan tulus hati. Ia menggunakan kata-kata yang membangun dan bukan menjatuhkan. Hal yang sama bisa dilakukan juga oleh seorang wanita lajang pada teman-teman, keluarga dan rekan kerjanya.

Dikatakan juga bahwa kebaikan-hatinya ini tidak cuma sementara, tapi dilakukan sepanjang hidupnya. Ini jelas merupakan komitmen jangka panjang yang berat, karena perlu dilakukan pada saat suka atau pun duka, dan bukan cuma pada saat sedang mood saja.

3. Bekerja dengan Sukacita
Karakter ketiga dari wanita di Amsal 31 adalah bahwa ia seorang yang rajin. Ayat 13 berkata, “Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya.” Tentu saja ini tidak berarti wanita-wanita jaman sekarang harus menjahit pakaian sendiri. Tapi ayat ini menunjukkan bahwa wanita ini ‘senang bekerja’ dan melayani keluarganya dengan sukacita, bukan dengan keluhan atau sunggut-sungut. Bagi para wanita lajang ini berarti bekerja dengan sepenuh hati di dalam pekerjaan kita, karena pekerjaan atau profesi kita adalah juga pelayanan kita bagi Tuhan (Kolose 3:23-24).

4. Pengorbanan
Ayat 14 mengatakan bahwa wanita ini “serupa dengan kapal-kapal saudagar, yang dari jauh mendatangkan makanannya.” Kalau di jaman sekarang, ini berarti wanita ini tidak puas kalau setiap harinya ia cuma menyiapkan junk food bagi keluarganya. Untuk bisa seperti ini dibutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran. Jaman sekarang kita bisa dengan mudah pergi kemana-mana dengan mobil, motor, becak atau bis. Kalau di jaman dulu, wanita semacam ini mungkin harus bersusah payah berjalan kaki untuk mendapatkan makanan yang terbaik bagi keluarganya. Tapi aku yakin, wanita ini mendapatkan kepuasan emosional lewat kesempatan untuk melayani keluarganya seperti ini.

5. Manajer Keuangan Yang Baik
Amsal 31 juga mengatakan wanita ini adalah seorang manajer keuangan yang baik dan berpikir dengan hati-hati sebelum mengeluarkan uang. “Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya” (ayat 16). Rupanya, ketika wanita ini melihat ada tanah yang bernilai tinggi, ia langsung membelinya untuk investasi jangka panjang. Kalau di jaman sekarang, mungkin ia seorang ahli di bidang real estate.

Dari sini kita lihat, Alkitab tidak mengajarkan pada wanita untuk diam di rumah saja, apalagi jika ia punya waktu, kemampuan dan talenta. Tapi Alkitab juga mengatakan ia harus melihat keluarga sebagai prioritas dan tidak mengorbankan keluarga demi karir. Walaupun mesti diingat, menjadi istri dan ibu pun merupakan suatu karir yang butuh profesionalitas tinggi.

Wanita di Amsal ini merupakan wanita yang aktif, pandai dan jago berbisnis. Tapi ia tidak mengesampingkan keluarganya karena anak-anak dan suaminya memuji wanita ini (ayat 29): “Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua.”

6. Murah Hati
Kemurahan-hatinya tidak cuma terbatas dalam keluarganya saja, tapi juga bagi para tetangga, orang-orang miskin atau mereka yang membutuhkan. “Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin” (ayat 20). Mungkin kita dapat mengikuti contohnya dengan cara berusaha memenuhi kebutuhan fisik atau emosional orang lain lewat sumber-sumber yang telah Allah berikan pada kita.

7. Bijaksana
“Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya” (ayat 26). Jadi wanita ini tidak suka bergosip-ria atau mengeluarkan kata-kata yang menjatuhkan orang lain. Ia memahami betapa berkuasanya lidah untuk menghancurkan atau membangun orang lain (Yakobus 3:5; Efesus 4:29). Ibuku adalah contoh nyata dari hal ini. Ia tidak pernah bosan memberikan kata-kata hiburan yang membangun, setiap kali aku membutuhkannya.

8. Berpengaruh
Wanita ini adalah ibu yang berpengaruh. Ia ‘mengawasi segala perbuatan rumah tangganya”, dan “makanan kemalasan tidak dimakannya” (ayat 27). Menurutku, memberi dampak pada dunia merupakan salah satu panggilan yang tertinggi dalam hidup kita. Seorang ibu dapat melakukan hal ini dengan cara membesarkan anak-anaknya dengan baik. Kalau aku melakukan kilas balik, aku melihat betapa ajaran ibuku telah sangat berpengaruh dalam berbagai pengambilan keputusan yang aku lakukan.

Sebagai lajang kita pun dapat berpengaruh pada kehidupan dunia. Aku percaya Tuhan telah menempatkan orang-orang tertentu di dalam hidup kita untuk suatu tujuan tertentu. Ia ingin kita membawa dampak pada kehidupan orang-orang yang telah Ia tempatkan dalam hidup kita.

9. Takut Akan Tuhan
Di atas semuanya, wanita dalam Amsal 31 adalah seorang yang takut akan Tuhan. “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji” (ayat 30). Ia menyembah Tuhan dan mengasihi Dia. Tak heran wanita ini sukses dalam perannya sebagai istri, ibu rumah tangga, tetangga yang murah hati dan guru yang berpengaruh. Bukan sesuatu yang luar biasa juga kalau ia bisa mengembangkan semua karakter yang disebut di atas. Soalnya semuanya itu merupakan buah dari hubungan pribadinya yang baik dengan Tuhan.

Pertumbuhan dalam pengenalannya akan Tuhan menyebabkan ia juga tampak semakin cantik setiap tahunnya. Itulah sebabnya, aku sungguh melihat Amsal 31 ini sebagai sebuah tantangan seumur hidup, yang dalam prosesnya membutuhkan pembelajaran terus-menerus. Aku mungkin akan sering jatuh, tapi aku tidak akan pernah menyerah! **
Pembahasan lengkap dari Amsal 31 terdapat dalam website yang dibuat secara khusus oleh Jessica Santoso di www.proverbs31woman.com

No comments:

Post a Comment