Sehari
Membaca Buku-Buku Lajang
Oleh: Sandra Lilyana
[deck]
Tiga buah
buku, secangkir cokelat panas, segelas blueberry
tea, dan masa lajang yang menyenangkan.
“Kita ingin rubrik buku yang lain dari biasa untuk
edisi lajang,” pesan editor-in-chief
getLIFE! saat rapat redaksi terakhir di kantor. “Yang personal, yang menarik,
mungkin cerita pengalamanmu sebagai lajang ketika menerapkan apa yang dikatakan
buku-buku.”
Saya langsung mencari di koleksi perpustakaan getLIFE!
dan ternyata hanya ada satu buku yang khusus membahas topik single berjudul Single, Sassy & Satisfied karangan Michelle McKinney Hammond. Kelihatannya ini berarti saya harus
berburu ke toko buku.
Jadilah pada satu Selasa di awal November saya sengaja
menyisihkan satu hari khusus untuk mencari, membaca, dan menulis ulasan
mengenai buku-buku lajang ini. Sejak mall
dibuka jam sepuluh, saya sudah ada di sebuah toko buku rohani yang cukup
besar di lantai atas. Toko buku ini punya rak-rak khusus “keluarga”, “gereja”,
“kepemimpinan”, dan banyak lagi tapi di rak mana saya harus mencari buku-buku
lajang. Setelah celingak-celinguk ke sana
kemari, seorang laki-laki mendekati saya dan bertanya, “Bisa saya bantu, Mbak?”
Saya bilang saya mencari buku yang khusus membahas masalah single. Petugas toko buku itu menggeleng, “Setahu saya kami tidak
punya.” Mereka punya satu rak buku-buku tentang pernikahan, percintaan,
hubungan, dan keluarga tapi tidak punya satu pun tentang single! Rasanya saya mulai mencium bau diskriminasi di sini.
“Ya sudah, terimakasih,” kata saya sambil bersiap-siap
pergi ke toko buku lain di sebelah tapi
laki-laki itu mendadak berkata, “Mungkin Mbak bisa memberi tahu saya
mengapa Mbak mencari buku seperti itu?” Saya sampai terdiam sejenak memikirkan
apa yang harus saya jawab. “Ehm, saya sedang menulis tentang lajang,” jawab
saya sambil menimbang-nimbang apa tidak sebaiknya saya pergi saja meninggalkan
petugas yang usil itu. Tapi saya memutuskan untuk memberikannya “the benefit of the doubt”. Mungkin dia
beritikad baik, mungkin dia memang selalu bertanya seperti itu pada siapa pun
yang mencari buku apa pun. “Oh, saya pikir Mbak sedang ada problem soal itu,”
kata petugas itu yang kemudian diikuti curhat mengenai adik perempuannya yang
berumur hampir tiga puluh tahun tapi menolak menikah karena pernah disakiti
laki-laki. “Oh, begitu,” kata saya yang tiba-tiba merasa perlu membela diri di
depan orang yang tidak dikenal ini, “tapi saya, sih, sama sekali tidak punya
masalah seperti adik Anda.”
Saya meringis dalam hati dan cepat-cepat pamit.
Astaga, baru mencari buku saja, saya sudah langsung dicurigai seperti itu. Saya
masuk ke toko buku di sebelah dan setelah berjuang keras (sendiri, karena saya
tiba-tiba jadi malas bertanya pada petugas toko buku), akhirnya saya menemukan
dua buku Kristen tentang lajang di antara ribuan buku di sana. Yang satu dengan judul provokatif: Haruskah Aku Melajang? karangan Kathleen Hardaway. Yang satu lagi dari Seri Dinamika Iman berjudul Hidup Melajang karangan David Egner.
Dengan menenteng kantong plastik berisi dua buku baru
dan satu buku properti getLIFE! di dalam tas, saya turun ke café di lantai dasar. Karena masih pagi,
sofa kesayangan saya di pojok café
dekat jendela masih kosong. Excellent!
Saya memesan hot chocolate ukuran
jumbo lalu duduk di sana
dan mengeluarkan buku-buku saya. Lalu tiba-tiba saja saya sadar betapa
mencoloknya sampul dan judul buku Haruskah
Aku Melajang? yang berwarna kuning terang dengan gambar perempuan bermain
ayunan itu. Ketika seorang pelayan café
berjalan melewati meja saya, otomatis saya langsung membalik buku itu supaya ia
tidak bisa melihat cover-nya. Entah
mengapa rasanya memalukan. Apa yang akan dipikirkan pelayan itu jika ia melihat
saya membaca buku ini? Apakah ia akan otomatis berpikiran sama seperti petugas
toko buku barusan bahwa saya adalah perempuan yang memutuskan melajang karena
pernah mengalami kepahitan dengan laki-laki? Saya tiba-tiba merasa perlu
menghabiskan setengah hot chocolate
saya sebelum mulai membaca.
Buku pertama yang saya pilih adalah Hidup Melajang karena itu yang paling
tipis di antara ketiga buku di meja saya. Ini sindrom anak kuliah yang tak
kunjung hilang. Lebih tipis, lebih bagus. Tidak perlu waktu terlalu lama untuk
menyelesaikannya karena hanya 48 halaman tapi isinya memang bagus. Egner
menulis dengan penuh empati dan menyoroti mitos-mitos yang salah tentang lajang
(bahwa mereka egois, boros, kesepian, dan sebagainya) yang telanjur beredar
luas di masyarakat. Saya pikir buku ini bagus sekali jika dibaca juga oleh
mereka yang sudah menikah karena akan memberikan perspektif baru tentang “dunia
yang [sering] disalahpahami” ini. Selain mengupas mitos, Egner juga memberikan
solusi Alkitabiah bagi para lajang untuk menghadapi tantangan hidup. Buku
mungil ini ditutup dengan bahasan pendek mengenai Yesus sebagai sahabat kaum
lajang “yang tidak akan pernah meninggalkan atau mengkhianati Anda”. Saya suka
buku ini.
Dua buku lain nadanya lebih personal dan emosional.
Mungkin karena ditulis khusus untuk para lajang perempuan. Ini juga gejala yang
menarik karena saya sama sekali tidak menemukan buku yang khusus membahas
lajang laki-laki. Apakah ini berarti ada lebih banyak perempuan lajang
dibandingkan laki-laki? Atau perempuan lajang punya masalah lebih banyak
dibandingkan laki-laki? Atau perempuan lajang dianggap lebih marketable bagi penerbit buku? Bisa jadi
perpaduan ketiganya. Tapi sekarang sudah waktunya makan siang. Saya kembali ke counter dan memesan chicken sandwich.
Agak aneh makan sendirian di café. Orang lain hampir semuanya datang dengan partner atau teman-teman mereka. Tapi sandwich-nya memang enak. Setelah menghabiskan semuanya sendiri dan
merasa puas, saya memesan segelas blueberry
tea dingin dan siap melanjutkan agenda saya. Baiklah, sekarang saya akan
mulai membaca buku kuning Kathleen Hardaway.
Buku ini mengharukan karena penulisnya yang tetap
single di usia empat puluh lebih menceritakan dengan jujur segala pergumulannya
menghadapi masa lajang, bagaimana ia bertanya pada Tuhan, menangis, dan patah
hati. Tapi ini jauh dari sekadar buku yang penuh keluh kesah. Sebaliknya buku
ini justru sangat inspiratif karena Hardaway juga menceritakan pemulihan yang
dialaminya dalam Tuhan dan sukacita kemudian datang dalam kehidupannya
sekarang. Buku ini ditutup dengan bab tentang Yesus sebagai pangeran sejati
yang ditunggu-tunggu.
Buku Sassy,
Single & Satisfied sengaja saya baca terakhir. Save the Best for Last. Konon inilah buku yang mengilhami tujuh
perempuan lajang untuk berpetualang ke gunung Halimun (baca Life!Horizon edisi
ini - red). Saya suka sub judulnya: Rahasia
Untuk Mencintai Kehidupan Anda. Isi bukunya adalah esai-esai pendek tentang
renungan kehidupan, cinta dan lelaki. Enak dibaca, ringan, tapi mencerahkan.
Penutupnya adalah 15 rahasia sukacita yang digali dari Alkitab dan kesimpulan Hammond bahwa kunci
kebahagiaan bukanlah laki-laki, bukan pula diri kita sendiri tapi tunangan
kita, Yesus yang sedang mempersiapkan pernikahan surgawi.
Selesai membaca buku yang ketiga, di luar sudah hampir
gelap. Blueberry tea yang tadinya
manis sudah tak berasa lagi karena bercampur es. Saya meluruskan badan dan
menguap. HP saya berbunyi. Ada SMS masuk. Dari teman-teman saya. “Kamu masih di
café? Kita jemput sekalian makan malam, ya.” Saya membalas dengan iseng: “Aduh,
maaf saya harus pulang dan masak untuk suami dan anak” Kalau bukan single, pasti itulah yang harus saya
lakukan seharian ini. Tidak akan ada cerita nongkrong di café, seharian membaca
buku-buku yang menambah wawasan dan mencerahkan hati, makan malam ramai-ramai,
dan pulang ke rumah sesuka hati. Terimakasih Tuhan untuk hari yang diberkati
ini, kata saya dalam hati. Ah, menjadi lajang memang menyenangkan.**(SL)
No comments:
Post a Comment