MamaOla

Monday, November 28, 2011

Masih Tinggalkah Tuhan di Paris?


Masih Tinggalkah Tuhan di Paris?

Oleh: Karin Andini


Paris. Kota sejuta objek wisatayang identik dengan seni dan romantisme. Bangunan gerejanya memukau mata. Tapi masih tinggalkah Tuhan di dalamnya?


Perancis dikenal sebagai negerinya peziarah umat Katolik; mungkin hanya kalah oleh Israel dan Vatikan. Sebutlah Taizé, komunitas doa interdenominasi, antar-agama, khususnya bagi Katolik Roma, Orthodox dan Protestan, yang dipelopori almarhum Bruder Roger pada tahun 1940. Nama komunitas doa ini diambil dari nama desa kecil di Perancis. Komunitas Taizé merupakan salah satu komunitas yang berkonsiliasi demi persatuan umat Kristen dan masyarakat dunia yang terpecah belah. Doa-doa dalam komunitas Taizé dilantunkan dalam lagu-lagu pendek yang dinyanyikan berulang-ulang dalam suasana hening dan hanya diterangi cahaya lilin. Di suasana seperti ini, doa dalam bait-bait lagu tersebut meresap jauh ke dalam hati kita.

Lalu siapa yang tidak kenal Lourdes, desa kecil yang menjadi pusat doa dan ziarah sepanjang siang dan malam, karena disitu konon Bunda Maria pernah menampakkan diri pada Santa Bernadette? Lourdes terkenal karena air suci di The Grotto of Massabielle (gua tempat penampakan Bunda Maria) telah membuat banyak mukjizat kesembuhan bagi orang-orang sakit dan cacat. Tongkat-tongkat yang digantung di dalam grotto menjadi tanda bukti orang-orang cacat yang mengalami ‘sentuhan tangan Tuhan’ setelah berdoa, membasuh diri, atau minum air suci Lourdes. Aku cukup beruntung mendapat kesempatan menyanyikan lagu-lagu pujian bersama beberapa peziarah dari negara lain saat perayaan yang dihadiri ribuan orang di depan The Rosary Basilica. Suasana syahdu melanda saat bait refrain Ave Maria dinyanyikan dalam berbagai bahasa berbeda dalam satu rangkaian nada yang sama; lagu sederhana yang mengalun demikian indahnya.

Gereja, relik kuno yang perlahan dimuseumkan?
Menurutku, Kota Paris itu bak magnet yang tak pernah kehabisan daya tariknya. Baik itu yang romantis, historis, religius, maupun kombinasi ketiganya, selalu saja ada objek wisata yang belum kita kunjungi, betapapun bersemangatnya kita berwisata. Tapi kota yang dijuluki City of Light ini sesungguhnya hanya menyumbang sepercik bagi khazanah budaya religius Perancis.

Paris sebagai kota terbesar di Perancis sarat dengan bangunan gereja abad-abad pertengahan yang masih berdiri megah dan terawat baik. Katedral Notre Dame, misalnya, yang terkenal lantaran dijadikan setting roman The Hunchback of Notre Dame karya novelis besar Victor Hugo (kemudian dikartunisasi oleh Disney). Tak henti-hentinya turis berdatangan untuk foto-foto di katedral ini. Belum lagi katedral yang sangat cantik di atas bukit Montmartre, Sacre Coeur atau Gereja Hati Suci. Dari balik kubah gereja ini, pemandangan kota Paris terhampar di depan mata. Selain oleh para turis, pelataran gereja-gereja ini dipenuhi oleh para pedagang souvenir.

Sayangnya, semua kehebohan itu tidaklah dibarengi dengan kegiatan bergereja umat Kristiani setempat. Misa atau kebaktian mingguan hanyalah setitik terang yang tak berdampak banyak. Dua gereja Protestan, L'Association Evangélique d'Eglises Baptistes de Langue Française (Asosiasi Gereja-gereja Baptis Injili Berbahasa Perancis) dan La Fédération des Eglises Evangéliques Baptistes (Federasi Gereja-gereja Baptis Injili) menunjukkan pertumbuhan pelan dari segi jumlah jemaatnya, kendati sebagian besarnya justru kaum imigran (Haiti, Karibia, Ukraina, Jepang, China) yang datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian dan bukan bertamasya.

Spiritualitas Kristiani di kota-kota besar Perancis terasa sangat berseberangan dengan di Lourdes dan Taizé. Kedua desa ziarah ini tak henti-hentinya dikunjungi peziarah dengan semangat spiritualitas yang tinggi untuk melihat, merasakan, dan berdoa secara langsung dengan para peziarah dari negara lain. Hebatnya, di tempat-tempat ini, kendati tak saling mengenal, mereka semua bisa menghadap Tuhan dengan begitu khusyuk; ini sangatlah mengharukan.

Sebaliknya, gereja-gereja di Paris dan kota-kota besar lainnya sudah tak lebih dari sekedar bangunan kuno tempat wisata yang patut dilestarikan dan diabadikan dengan kamera modern. Suasana doa dalam gereja manapun di kota Paris selalu terganggu oleh bunyi langkah-langkah kaki turis dan bunyi “klik” jepretan kamera. Bahkan di kota kecil seperti Montpellier, kebiasaan mengikuti misa atau kebaktian di gereja sudah kian pudar, terutama di kalangan muda.

Satu kali Monsieur Gay, host kami yang baik hati, mengajak kami mengikuti misa dalam bahasa Perancis. Ini pengalaman yang pertama bagi kami. Tidak seperti gereja-gereja di Indonesia, pengunjungnya bisa dihitung dengan dua pasang tangan, dan mayoritasnya kaum lanjut usia. Melihat kami, tiga remaja Asia yang masih muda mengikuti misa, sang pastur pun terlihat girang, menatap kami seolah tak percaya. Begitu herannya sampai ketika “salam damai” berlangsung, ia menghampiri kami dan bercengkrama sebentar.

Sehabis misa, sang pastur kembali menghampiri, berterima kasih pada Monsieur Gay karena telah mengajak kami menghadiri misa. Ia bahkan memperkenalkan kami dengan jemaat yang menyambut kami dengan ramah. Mereka semua tertegun karena kami, dan kami juga tertegun: akan jadi apa nanti jika generasi muda sudah tidak bergereja lagi?

Namun, di tengah ketidakpopulerannya gereja sebagai tempat beribadah tidak lantas membuat keajaiban Tuhan urung terjadi. Di Paris, sebuah pengalaman pribadi membuatku semakin menyadari keajaiban karunia Tuhan, dan bersyukur karena aku memiliki-Nya.

Yang ini selatan, yang itu barat!
Kami merasa beruntung karena berada di Paris saat hari peringatan Revolusi Perancis, 14 Juli, biasa disebut Le Quatorze Juillet. Malam sehari sebelumnya Paris benar-benar ‘meledak’. Di banyak tempat diadakan pertunjukan kembang api (feu d’artifice), yang terbesarnya tentu saja di sekitar Menara Eiffel. Tak ingin kesempatan langka ini lepas begitu saja, kami rela berdesak-desakan dengan ribuan warga dan turis lainnya untuk menyaksikan kemeriahan ini.

Lima belas menit lepas dini hari, meledaklah kembang api pertama di langit Paris yang gulita. Mulainya memang malam sekali, karena di musim panas seperti ini, cahaya matahari baru sempurna hilang setelah jam sebelas malam. Namun percikan api cantik itu jelas membuat keletihan kami sirna. Kami terbuai cukup lama, sampai-sampai kami lupa: kereta RER (Réseau Express Régionale) yang bisa membawa kami pulang terakhir berangkat jam satu subuh!

Kami hanya sempat menaiki métro terakhir yang tujuannya stasiun Montparnasse. Harapan bisa naik métro untuk pulang hilang sudah dari benak. Waktu sudah nyaris pukul satu, dan kereta di Perancis mana mungkin ngaret! (Di otakku segera terlintas pengalamanku naik TGV, Train à Grande Vitesse: kereta cepat itu tiba pukul 11:59, tepat sesuai jadwal, tak beda satu menitpun!) Di tengah kepanikan ini kami tiba-tiba melihat tanda stasiun metro bertuliskan Porte de Versailles. Asumsiku: stasiun itu pasti dekat dengan Istana Versailles, dan dari situ, rumah Oom dan Tante kami sudah tidak jauh lagi!

Betapa terkejutnya kami saat turun di stasiun tersebut, ternyata kami sekarang berada di selatan, sedangkan apartemen itu adanya di barat Paris. Ternyata Porte de Versailles sangat jauh dari Istana Versailles. Dan setelah tahu bahwa métro yang kami tadi naiki adalah yang terakhir, ketakutan pun mulai menyelinap dalam hati. Lama tertegun di dalam stasiun, kami baru tersadar ketika banyak pengemis dan tunawisma masuk untuk tidur di dalam stasiun. Aku sering sekali mendengar, angka kriminalitas di Paris termasuk yang tertinggi di negeri ini.

Serangkaian doa singkat nan darurat setidaknya bisa membuat kami lebih tenang dan menjernihkan jalan pikiran. Kami berhasil keluar tanpa diganggu, dan akhirnya bisa menemukan kotak telepon umum. Sambil berharap-harap cemas dan tak henti-hentinya berdoa dalam hati, kami menelepon Oom dan Tante kami yang pastinya sedang tertidur pulas.

Puji Tuhan! Telepon itu dijawab: kami seketika dilarang naik taksi (karena harganya bisa mencapai 200-300 Euro atau 2-3 juta rupiah!) dan diminta menunggu di satu tempat umum yang mudah dilihat. Beruntunglah tak jauh dari situ kami melihat Hotel Mercure. Pemandangan ini, tiga orang Asia berbaju lusuh duduk dengan cemas di depan pintu hotel mentereng, tentunya tidak bisa ditemukan setiap hari di Paris. Satu jam kami menunggu, tiap menit rasanya muka kami bertambah berat dengan malu. Tak bosan-bosannya kami bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada Oom dan Tante di sepanjang perjalanan pulang.** (CS)

No comments:

Post a Comment